DONESIA.CO, JAKARTA — Bertepatan dengan konferensi COP 26 di Glasgow, Skotlandia,
jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STUEB) bersama Watchdoc meluncurkan film
dokumenter terbaru secara terbatas berjudul “Baradwipa” pada malam ini, Selasa (9/11/2021).
Peluncuran terbatas ini menandai kegiatan nonton bareng secara serentak di berbagai titik di
Pulau Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Lampung,
Palembang dan Kabupaten Lahat.
Peluncuran film dokumenter ini sekaligus menjadi puncak dari serangkaian kegiatan aksi damai
yang telah dilakukan di berbagai daerah di Pulau Sumatera, Indonesia. Dalam aksi tersebut,
jejaring STUEB mengirim pesan “Menolak Punah” untuk mengingatkan para pemimpin dunia
terutama Presiden Indonesia agar serius menangani dampak krisis iklim yang semakin parah
terjadi di berbagai belahan dunia dengan meninggalkan kecanduan terhadap batubara.
“Jokowi terus bicara krisis iklim di forum global dan sangat percaya diri mengklaim bahwa
pemerintahannya serius dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, yang dilakukan Jokowi di
dalam negeri justru sebaliknya. Jokowi dan pemerintahannya terus membangun pembangkit
energi kotor yang hanya akan memperburuk iklim global dan mengancam keselamatan
warganya sendiri,” ujar Ali Akbar, Konsolidator STUEB.
Saat pemimpin global berbalas pidato yang berapi-api dan berseru tentang pentingnya
menangani krisis iklim, masyarakat di Sumatera telah lebih dahulu hidup dalam krisis itu sendiri.
Masyarakat di sekitar PLTU telah lama menderita akibat pembakaran batubara. Abu dan debu
batubara menjadi makanan sehari-hari yang membuat paru-paru mereka lebih cepat rusak.
PLTU juga menyebabkan kerusakan terhadap sumber mata pencaharian warga baik di
pertanian maupun di pesisir pantai.
Film dokumenter Baradwipa merekam dampak nyata yang dialami warga Sumatera akibat
industri energi kotor batubara. Lewat film dokumenter dan aksi, Sumatera menyerukan pesan
penting mengingat masifnya proyek energi kotor batubara yang tengah direncanakan Jokowi.
Padahal cadangan daya listrik di Sumatera mencapai 4.263 megawatt (MW) dari 25 unit PLTU
yang telah beroperasi. Dengan kapasitas tersebut, saat ini surplus pasokan listrik sebesar 55
persen. Namun pemerintah masih bersikeras membangun 22 unit PLTU baru dengan total
kapasitas 6.789 MW. Mayoritas PLTU-PLTU tersebut teridentifikasi didukung oleh institusiinstitusi keuangan Tiongkok.
Sejauh ini rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo tak memiliki komitmen serius dan
tindakan nyata dalam upaya penanganan dampak krisis iklim. Meski negara-negara di tingkat
global mulai berkomitmen meninggalkan industri batubara yang tinggi emisi, pemerintah
Indonesia, lewat berbagai paket kebijakan seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja, justru terus
memberi karpet merah bagi industri energi kotor batubara.
Tak hanya itu, Siti Nurbaya Bakar, yang dua kali menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan periode pertama dan kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, menyatakan
bahwa pembangunan besar-besaran yang dilakukan oleh presiden tidak boleh berhenti atas
nama deforestasi atau atas nama emisi karbon.
“Pola pembangunan yang dilakukan terus memicu ketimpangan yang berakar pada kerusakan
lingkungan, dan tidak mampu melindungi hak dasar seluruh masyarakat Indonesia. Para
oligarki ekstraktif tambang dan batubara terus menikmati paradigma pemerintah selama ini
terutama kini di Sumatera,” kata Ahmad Ashov Birry, juru bicara #BersihkanIndonesia dari
Trend Asia.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia menyatakan akan berhenti membangun PLTU pada 2030.
Namun, faktanya tidak demikian. Terkhusus di Pulau Sumatera, pemerintah berencana
membangun 22 PLTU baru dengan total kapasitas mendekati 7 GW sampai tahun 2028. Status
proyek-proyek PLTU ini bervariasi, yakni 3 unit dengan total kapasitas 2000 MW dalam status
konstruksi, dan 19 unit dengan total kapasitas 4790 MW berstatus pra-konstruksi.
Denganperhitungan masa beroperasi PLTU hingga 20-30 tahun ke depan, maka dapat dipastikan
PLTU-PLTU baru ini akan jauh melewati tenggat komitmen penghentian pembangunan pada
2030. Ini juga akan membuat Indonesia secara otomatis tidak dapat mencapai target sesuai
Perjanjian Paris.
“Kami meminta pemerintah Indonesia untuk tidak memperolok-olok masyarakat global tentang
komitmen iklim dan segera ambil tindakan nyata untuk menghentikan pembangunan PLTU baru
di Indonesia terutama di Sumatera.” ujar Sumiati Surbakti, Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi
Lestari.
Pembakaran batubara nyata sebagai bahan pencemar berat dan kontributor emisi global
penyebab pemanasan global. Sekitar 44% emisi karbon itu merupakan sumbangan dari
pembakaran batubara. (RELEASE)
Berita Lainnya
Universitas Indo Global Mandiri Sabet PTS Peringkat Pertama di Sumatera dan Peringkat 7 PTS se-Indonesia versi THE Impact Rankings 2023
Capres Ganjar Pranowo Yakin Suara Sumsel Bulat Berikan Dukungan di Pilpres 2024
Misterius, Puluhan Kerbau di Muratara Tiba Tiba Mati Mendadak